Menjunjung Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan
Jakarta, CNN Indonesia -- Kearifan lokal menjadi poin penting ketika berbicara tentang pariwisata berkelanjutan. Apabila suatu destinasi...

Jakarta, CNN Indonesia -- Kearifan lokal menjadi poin penting ketika berbicara tentang pariwisata berkelanjutan. Apabila suatu destinasi wisata mempertahankan tata cara tradisionalnya maka dapat dipastikan mereka bisa bertahan lama. Itulah yang diungkapkan oleh Prof. Jatna Supriatna, salah satu juri ajang Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata. Ia bercermin pada destinasi wisata yang ada di Raja Ampat, di mana kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sampah sudah berlangsung secara turun temurun.
"Seperti pemenang tahun lalu Raja Ampat. Mereka nggak usah diperintah. Tapi mereka melihat turis nggak suka plastik, jadi dia olah. Mereka simpan. Itu berjalan dengan sendirinya," katanya dalam jumpa pers ISTA 2018 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, Kamis (19/7). "Justru cara tradisional ini yang turis suka. Masyarakat Raja Ampat bilang, 'ini pulau kecil, kalau ada sampah di sini habis kita'. Jadi mereka sudah mempersiapkan tempat khusus untuk mengelola pariwisatanya."Jatna melanjutkan bahwa kearifan lokal ini bisa berbentuk macam-macam. Selain keterampilan mengelola sampah plastik, masyarakat Raja Ampat juga bisa mengatur sumber dayanya. Hal ini tampak pada pembagian kerja yang jelas pada setiap komunitas dalam destinasi-destinasi wisata. "Mereka itu tahu kalau misalnya ada beberapa community tapi cuma satu yang dapat objek wisata, itu pasti nggak akan langgeng karena ada yang jealous," kata Guru Besar Universitas Indonesia itu. "Mereka atur sendiri, nggak pakai pemerintah lho. Jadi justru itu yang menarik minat wisatawan."Kearifan lokal ini menurut Jatna bisa saja berbenturan dengan prinsip-prinsip mass tourismatau turisme masal. Namun hal ini bisa disikapi dengan bijak apabila melibatkan para ilmuwan untuk mengukur seberapa jauh dampak yang ditimbulkan dari pariwisata."Jadi pariwisata itu membuat regulasi berdasarkan scientific based decision. Misalnya pada spesies manta ray nggak boleh dilihat banyak-banyak, nanti bingung dia," ungkapnya. Selain pada spesies manta ray, wisata melihat gorila atau gorilla tourism juga disebut memiliki aturan khusus yang membatasi jumlah pengunjung. Aturan ini ada juga berkat peran ilmuwan yang terlibat di dalamnya."Contoh lain gorilla tourism. Sekarang waiting list-nya aja hampir 6 bulan untuk melihat itu. Meskipun harga dinaikin, tetap saja ada yang mau lihat," ujarnya. (agr)